Pelajaran Hidup Dari Nenek Murni

Panas mentari siang tadi cukup menyengat. Setelah menjemput anakku dari sekolah, aku luangkan waktu ke toko buku di sebelah masjid Fathullah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tara, anakku mengikuti dari belakang.

"Ayah! Beli itu dulu," teriak Tara. "Beli itu...ayah. Beli..." katanya lagi setengah memaksa.

"Iya nanti sayang," jawabku tak menoleh sedikit pun ke arahnya dan semakin mempercepat langkah kakiku.

Tapi tiba-tiba, Tara menarik bajuku. Aku cukup terganggu dibuatnya. Selang beberapa saat segera menoleh ke arahnya dan berusaha memperingatinya untuk bersabar. Karena, aku tak mau anak-anakku membeli jajanan sembarangan. "Kita jalan cepat sayang, panas banget," bisikku.

Namun, setelah menengok ke arahnya, ternyata Tara bermaksud memberitahuku tentang seseorang luar biasa yang dilihatnya. Tara menunjuk ke arah seorang nenek tua renta yang duduk berselonjor sambil berjualan buah-buahan. Nenek kurus dan keriput itu bertahan di bawah terik matahari dengan biasa-biasa saja. Namun, dia tak menunjukkan wajah lelah ataupun kepanasan. Meskipun kulihat rambutan, manggis, jeruk dan salak yang dijualnya tampak layu karena sinar matahari yang panas.

"Pantas saja Tara ikut iba melihat nenek itu. Penjual itu usianya sama dengan nenek-buyutnya di kampung. Lebih tua daripada Nenek Sri di Bandung. Tapi, masih mampu berjualan di tepi jalan," bisikku dalam hati.

Aku segera menghampiri penjual tua itu. Kupilih buah rambutan tanpa menawar. Lalu, kuperkenalkan diri dan mengajaknya bercengkrama dengan anakku.Bayangkan, Nenek bernama Murni ini berusia 85 tahun. Setiap hari berjualan di tepi pagar masjid UIN. Panas terik mentari atau pun hujan lebat tak mampu menghalanginya untuk bekerja.

"Tiap hari jualan. Kadang diantar ojek, kadang naik angkot," katanya sambil memijat-mijat kakinya.
Semangatnya begitu tinggi meski harus berjualan dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Dia tak mau merepotkan anak cucunya, apalagi orang lain. Setiap hari, dia bisa meraup keuntungan Rp 65.000 -'Rp 150.000. Nenek Murni berani bersaing dengan puluhan pedagang kaki lima yang lain di sekitar kampus. 4 tahun lebih nenek memberi pelajaran tentang semangat kerja bagi yang lain.

"Mumpung Nenek masih kuat jalan, kuat duduk, Nenek bisa bantu anak cucu. Kalau nggak begini, bagaimana bisa hidup?" tuturnya.

Wanita berdarah Betawi-Sunda ini memiliki 3 orang anak dan 5 orang cucu. Dia tinggal bersama anak dan cucunya di dekat pasar Ciputat.
"Anak saya pernah larang saya jualan, tapi mau bagaimana lagi. Selagi saya masih hidup, saya masih ada gunanya buat anak-cucu,"'tuturnya lagi.

Aku tak bisa berlama-lama ngobrol bersamanya untuk suatu urusan yang lain. Setelah membayar rambutan yang kubeli, segera kususul beberapa lembar uang sekadar untuk harga aebuah perkenalan siangku dengan. 
Tapi, saat kuulurkan tanganku ke arah tasnya, dia menolak.
"Saya nggak mau terima sedekah, Nak," katanya keras.
Aku kaget dibuatnya. Masih bengong dengan penolakannya.
"Saya jualan, Nak. Ini sudah cukup," katanya lagi.
"Nek, ini bukan sedekah. Ini ucapan terima kasih, karena Nenek sudah mau ngobrol dengan saya," jawabku.
Nenek itu tetap menolak, lalu ia mencoba berdiri dengan susah payah dan hendak membungkus buah-buahan yang lain untuk kami.
"Ini ambil lagi saja rambutan dan jeruknya,Nak " pintanya.
Aku tak mau kalah dengan aksinya. Segera kulambaikan tangan dan bergegas menarik tangan Tara untuk berlari menjauh.
"Nggak Nek. Itu dijual saja. Assalamualaikum. Sampai ketemu lagi nanti Nek," kataku dari kejauhan.
Tara sempat terheran-heran melihat kejadian itu.
"Ayah kenapa lari?" tanya Tara.
"Kalau tidak lari bahaya'" jawabku sambil tertawa.
"Bahaya?!"
"Iya sayang...Nenek hebat itu bisa-bisa kembalikan yang kita.hehehe"
"Dia hebat banget ya, ayah,"
"Iya sayang. Ini pelajaran hidup buat kita. Ayah hanya bisa membantu meringankan bebannya sedikit saja."

Dalam perjalanan pulang, aku mengingat ulang kata-kata bijak Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir: "Wahai orang yang menginginkan kasih sayang Allah SWT, perhatikanlah harganya dan itu sudah ada di tanganmu! Lalu berapa harga yang harus dibayar? Yaitu, kasih sayang kepada sesama makhluk-Nya. Lalu, apa yang dimaksud dengan ‘yang ada di tanganmu?’ Yang ada di tanganmu itu berikanlah harganya dan ambil barangnya."

Semoga bermanfaat bagi sahabat tasawuf underground.(fb/asawuf Underground)

0 Response to "Pelajaran Hidup Dari Nenek Murni"

Post a Comment