Rumah tangga bagai sebuah rumah. Suami sebagai atap, istri sebagai penyanggah. Mereka memiliki peran berbeda. Peran itu harus dijalankan bersama-sama. Saling membantu, saling memahami dan saling memaklumi. Jika mereka tidak akur, sebuah rumah bukanlah rumah. Sebuah rumah tangga bukanlah rumah tangga. Apa arti penyanggah tanpa atap? Apa arti atap tanpa penyanggah. Apa arti seorang suami tanpa seorang istri? Apa arti seorang istri tanpa seorang suami? Dengan demikian, suami-istri harus sama-sama menjalankan perannya. Agar rumah tangga benar-benar menjadi rumah tangga yang bahagia.
Seorang suami harus benar-benar bertanggung jawab. Menjaga istri sepenuh hati. Membuatnya tersenyum sepanjang hari. Sebab, ketika seorang suami mengucapkan “qobiltu” pada waktu akad nikah, pada saat itulah dia berjanji menggantikan orang tua istri. Berjanji untuk selalu mencintainya, mengasihinya, menjaganya, dan membahagiakannya. Jika dia tidak melakukan hal itu, dia mengkhianati dirinya sendiri, mengkhianati orang tua istri, dan mengkhianati Allah swt.
Sebagai pemimpin rumah tangga, suami juga berkewajiban memberi nafkah. Bekerja banting tulang, memeras keringat. Sebagai wujud cinta kepada istri. Bukankah pecinta akan selalu berkorban untuk orang yang dicintainya? Selain itu, bekerja juga sebagai batu loncatan untuk mendapatkan cinta Allah swt. Sebab, Allah begitu mencintai orang yang bekerja. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, Allah mencintai orang yang bekerja.” (HR. al-Baihaqi). Dalam potongan Hadis lain Rasulullah juga bersabda, “Ingatlah, jika anak muda itu bekerja untuk kedua orang tuanya, atau salah satunya, maka dia ada di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk keluarganya, dia ada di jalan Allah. Jika dia bekerja untuk dirinya, dia juga ada di jalan Allah.” (HR. al-Baihaqi). Bahkan, Imam al-Ghazali mengatakan, orang yang sibuk bekerja mencari harta halal untuk keluarga itu lebih baik dari pada ibadah badaniyah. Akan tetapi, seyogyanya ketika bekerja tetap ingat kepada Allah (berdzikir). Betapa besar pahala orang yang bekerja, bukan?
Namun demikian, dalam bekerja harus diniati dengan baik. Seperti agar keluarganya tidak mengemis, untuk menjaga harga diri, untuk pendidikan anak, untuk sedekah jika lebih dan niat baik lainnya. Hal itu dilakukan agar pekerjaan bernilai ibadah. Sebaliknya, bila niatnya jelek, untuk gaya-gayaan misalnya, maka pekerjaan itu berubah menjadi maksiat. Maka agar pekerjaan menjadi ibadah, niatilah dengan baik.
Selain uraian di atas, masih ada hal yang sangat penting dilakukan suami ketika akan berangkat kerja. Yaitu mengecup kening sang istri. Kenapa? Agar hubungan keluarga tetap hangat dan cinta-kasih yang ada dalam hati semakin berbunga. Coba bayangkan, bagaimana perasaan sang istri jika suami selalu mengecup keningnya ketika ingin berangkat kerja? Dan bagaimana perasaan istri jika suami berangkat begitu saja tanpa pamit apa lagi mengecup kening? Bayangkan. Pasti beda. Tidakkah kita ingin meniru Rasulullah dalam membina rumah tangga? Sayyidah Aisyah pernah bercerita, “Sungguh, ketika nabi ingin berangkat salat, beliau mengecupku …” (HR. Daru Qutni).
Lalu bagaimana dengan istri? Seorang istri juga memiliki tanggung jawab. Sebagai penyanggahh, dia harus berusaha menjaga rumah tangga tetap utuh. Memelihara kesetiaan ketika suami tidak ada. Murah senyum ketika suami ada di rumah. Dan tak lupa, berdandan yang rapi sehingga aura kecantikan tetap terpatri di wajahnya. Tentu, dengan niat ingin membahagiakan suami. Kadang, para istri zaman sekarang salah kaprah. Ketika ingin perjalanan, berdandan secantik mungkin. Tapi, ketika berkumpul dengan suami, apa adanya. Tidak berdandan sama sekali. Bukankah suami itu juga manusia yang senang pada keindahan?
Selain itu, hal yang penting dilakukan seorang istri adalah membantu suami menyiapkan alat kerja. Mengantar suami sampai depan rumah. Mencium tangan suami dengan lembut. Ketika suami akan berangkat, katakan, “Hati-hati mas…”. Insyaallah, jika hal itu dilakukan, hubungan suami-istri akan selalu terasa indah. Cinta pun tak akan layu, bahkan semakin bertambah.
Untuk kesuksesan suami, seorang istri harus membantunya dengan memanjatkan doa. Berdoa agar suami selamat di perjalanan, berdoa agar suami sukses dan berdoa agar rumah tangga menjadi perahu menuju surga. Sebab, setiap doa yang dipanjatkan pasti diterima. Meski caranya berbeda. Rasulullah bersabda, “Doa adalah senjata orang mu’min.” (HR. al-Hakim). Dalam Hadis lain, Rasulullah juga bersabda, “Sesunggguhnya Tuhan kalian Dzat yang pemalu serta mulia. Dia malu pada seorang hamba yang mengangkat kedua tangannya lalu mengembalikannya begitu saja (atau, mengembalikan kedua tangannya dengan kecewa).” (HR. Ibnu Majah)
Ala kulli hal, suami dan istri adalah dua raga satu jiwa. Dua hati satu cinta. Mereka harus saling membantu mewujudkan keluarga penuh senyum. Saling menghangatkan saat dingin menerpa. Saling menyejukkan saat panas mengeruhkan suasana. Selalu kompak menjalankan peran masing-masing. Ketika suami bekerja, istri tidak santai-santai saja. Istri harus mendoakannya. Dengan demikian, akan terciptalah keluarga sakinah. Keluarga yang diberkahi Allah swt.
Wallahu A’alam..
0 Response to "Suami Bekerja, Istri Berdoa"
Post a Comment