Menurut Imam Al-Ghazali, dalam sebuah riwayat israiliyat, Allah pernah berfirman, “Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, jika seluruh penghuni langit dan bumi memohon syafaat untuknya, Aku tetap tidak menerima tobatnya, karena manisnya perbuatan dosa yang ia lakukan masih tersisa di hatinya.”
Mungkin engkau akan berkata bahwa secara naluriah, perbuatan dosa itu umumnya sangat disukai, maka bagaimana mungkin ia merasakan pahitnya?
Imam Al-Ghazali memberi analogi yang menarik: “Ada seseorang minum madu yangmengandung racun, tapi ia tidak apa-apa saat itu, bahkan sebaliknya malah merasan lezat. Tetapi, belakangan hari, ia tiba-tiba jatuh sakit yang cukup lama akibat efek racun tersebut, sampai semua rambutnya rontok dan anggota tubuhnya lumpuh.
Dalam kondisi demikian, apabila dihidangkan jenis madu yang sama, mungkin ia akan menolak, meski sudah dijelaskan bahwa sudah tidak ada racun di dalam madu tersebut. Orang itu akan berasalan bahwa ia sama-sama madu. Begitulah perumpamaan orang yang bertobat dari dosa-dosanya, Ia merasakan betapa pahitnya dosa itu, apalagi jika ia sadar bahwa setiap perbuatan dosa rasanya seperti madu, tapi efeknya adalah racun yang sangat berbahaya.
Maka, tobat belumlah dikatakan tulus dan benar jika tidak berdasarkan keyakinan semacam ini. Sungguh jarang orang yang punya keyakinan seperti ini. Karena itu, engkau pasti sering melihat orang yang berpaling dari Allah, menganggap sepele dosa dan keras kepala untuk terus menerus melakukannya.”
Sumber: Imam Al-Ghazali dalam Kitab At-Tawbah, Ihya ‘Ulumuddin
0 Response to "Membedakan Madu dan Racun"
Post a Comment